Digital Civil Society, Online Engagement, and Youth: Understanding Religious Moderation in Indonesia
Oleh : Dr. Nawiruddin, M.Ag.
Pendahuluan
Para peneliti yang memiliki minat kuat terhadap masyarakat sipil dan agama di Indonesia semakin memberikan perhatian pada tantangan negara ini dalam mempromosikan moderasi beragama di tengah masyarakat yang semakin terdigitalisasi. Jika kita mengikuti laporan rutin dari lembaga seperti Freedom House maupun laporan Digital 2023 We Are Social, Indonesia menunjukkan peluang sekaligus risiko dalam transformasi digitalnya. Di satu sisi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia lebih dari 210 juta jiwa pada tahun 2023—yang menandakan besarnya potensi bagi keterlibatan sipil daring. Di sisi lain, kualitas kebebasan digital dan inklusivitas menunjukkan tren yang beragam, dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap polarisasi daring, disinformasi, dan ujaran kebencian, khususnya yang terkait dengan wacana agama dan identitas (Freedom House 2023; Nugroho dkk. 2012; Tapsell 2020).
Dengan menggunakan keterlibatan sipil daring sebagai ukuran partisipasi pemuda dalam demokrasi, dapat diamati bahwa masyarakat digital Indonesia berkembang dengan ciri yang kontradiktif. Platform digital menyediakan ruang bagi ekspresi bebas, pembangunan komunitas, dan solidaritas lintas iman. Namun, pada saat yang sama, ia juga memperkuat wacana eksklusif melalui echo chamber yang digerakkan algoritma serta gerakan populis keagamaan.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa moderasi beragama di Indonesia, meskipun secara formal didukung oleh negara melalui lembaga seperti Kementerian Agama, menghadapi tantangan baru di ranah publik digital. Hal ini berarti bahwa arah menuju kewargaan inklusif dan pluralisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari bagaimana digital civil society berfungsi dalam praktik (Lim 2013; Hara & Darmawan 2019).
Moderasi beragama memang tidak identik dengan demokrasi, tetapi sangat penting untuk memastikan lembaga demokrasi dapat berjalan efektif dalam masyarakat majemuk. Semakin kuat toleransi beragama, semakin baik pula kualitas partisipasi demokratis, terutama di negara heterogen seperti Indonesia. Robert Putnam (2000) menegaskan bahwa modal sosial dan kepercayaan sipil merupakan syarat penting bagi keberlangsungan demokrasi, sementara Habermas (2006) menekankan peran tindakan komunikatif dalam membangun saling pengertian di ruang publik. Jika ditransformasikan ke era digital, keterlibatan sipil daring membuka jalur baru untuk membangun dialog lintas iman dan melawan narasi keagamaan yang eksklusif (Campbell & Tsuria 2021).
Implementasi moderasi beragama di masyarakat yang plural secara etnis dan agama seringkali sulit karena identitas tersebut sudah tertanam dalam kesadaran individu sejak dini dan terus diperkuat oleh keluarga, komunitas, dan lembaga keagamaan. Secara historis, inisiatif moderasi di Indonesia lebih banyak dipimpin negara dan berlangsung secara luring melalui sekolah, pesantren, atau organisasi lintas iman. Namun, ketika platform digital semakin merasuk ke kehidupan sehari-hari, inisiatif yang digerakkan pemuda mulai mengubah cara moderasi diartikulasikan dan dipraktikkan. Ruang-ruang daring seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan podcast semakin banyak digunakan oleh aktivis muda untuk melawan ujaran kebencian, menyebarkan konten keberagamaan yang inklusif, dan membangun solidaritas lintas iman. Arena daring ini merepresentasikan wujud digital civil society yang terus berkembang, di mana norma inklusivitas, dialog, dan partisipasi sipil diperdebatkan sekaligus dinegosiasikan.
Keragaman Indonesia menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi keterlibatan sipil digital. Muslim memang menjadi mayoritas (87%), namun kelompok ini sendiri sangat beragam mulai dari tradisionalis hingga modernis, dari orientasi literalis hingga rasionalis (Geertz 1960;Pepinsky, Liddle, & Mujani 2018). Demikian pula, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu diakui secara konstitusional, sementara kelompok lain termasuk agama lokal dan gerakan keagamaan baru juga turut mewarnai mosaik keberagamaan. Dari sisi etnis, tidak ada satu pun kelompok yang menjadi mayoritas absolut; Jawa memang merupakan kelompok terbesar sekitar 40%, tetapi ratusan kelompok etnis lain tersebar di seluruh nusantara (BPS 2020; Suryadinata, Arifin & Ananta 2003). Heterogenitas ini menjadikan ruang publik digital sebagai arena kontestasi di mana narasi toleran dan intoleran terus berinteraksi.
Pertama, artikel ini mengkaji bagaimana digital civil society menyediakan ruang daring alternatif bagi pemuda Indonesia untuk mengartikulasikan narasi keberagamaan yang inklusif. Kedua, artikel ini menganalisis bagaimana keterlibatan sipil daring memfasilitasi interaksi lintas iman yang menantang stereotip dan menumbuhkan solidaritas. Ketiga, artikel ini mengeksplorasi ambivalensi aktivisme digital dalam menopang moderasi beragama, mengingat kerentanannya terhadap polarisasi yang diperkuat oleh algoritma media sosial. Oleh karena itu, konsep digital civil society, keterlibatan sipil daring, dan moderasi beragama perlu didefinisikan dan dikontekstualisasikan terlebih dahulu