Gagasan Vasektomi Massal Ala Dedi Mulyadi di Jawa Barat: Terobosan atau Pelanggaran Hak Azasi Manusia?
Gagasan Vasektomi Massal Ala Dedi Mulyadi di Jawa Barat: Terobosan atau Pelanggaran Hak Azasi Manusia?

Ida Rosyidah

Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendahuluan

Wacana pengendalian penduduk belakangan ini kembali mencuat, setelah Gubernur Jawa Barat, dikenal dengan Kang Dedi Mulyadi (KDM), mengajukan usulan vasektomi untuk mengurangi kepadatan penduduk di wilayahnya. Gagasan KDM didasari oleh fakta bahwa  selama 4 tahun terakhir ini, penduduk di Jawab Barat terus mengalami lonjakan signifikan. BPS mencatat pada juni 2024, jumlah penduduk Jawa Barat mencapai 50,35 juta penduduk atau sebanyak 17,88% dengan tingkat pertumbuhan tahunan mencapai 1,13% sehingga Jawa Barat dikenal sebagai provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia yaitu sekitar 1.359 jiwa per kilometer persegi. Data tersebut menunjukkan fenomena yang mengkhawatirkan karena jumlah penduduk yang melonjak tinggi bisa menjadi bom waktu bagi pembangunan kualitas hidup masyarakat, khususnya di Jawa Barat. Salah satu kebijakan yang perlu dilakukan untuk mengatasi problem tersebut adalah kebijakan vasektomi bagi keluarga kurang mampu.  

Gagasan ini mencuat karena program keluarga berencana (KB) konvensional yang selama ini dilakukan pemerintah dianggap kurang efektif untuk mengendalikan lonjakan penduduk sehingga perlu ada langkah alternatif yang diberlakukan secara terstruktur dan sistematis. Ide ini dikemukakan pertama kali oleh KDM saat blusukan di wilayah Majalengka dan menemukan seorang ayah dengan 11 anaknya, salah satunya masih dalam kandungan, hidup dalam kesederhaan. Sudah beberapa bulan sejak kecelakaan motor, si ayah sebagai kepala keluarga tidak dapat lagi bekerja. Secara ekonomi, keluarga tersebut bergantung pada penghasilan yang diperoleh keempat anak mereka yang menjajakan kue buatan istrinyak di sekitar alun-alun Kabupaten. Pada saat itulah, Dedi menawarkan bantuan finansial padanya dengan syarat laki-laki tersebut mau menggunakan KB dengan cara vasektomi, namun ia menolaknya. Gagasan vasektomi Gubernur Jawa Barat ini telah menjadi perhatian publik dan memunculkan kontrovesi, sebagian masyarakat mendukung dan sebagian lainnya menolak.

Artikel ini ingin membahas pengertian vasektomi, bias budaya terkait pengendalian penduduk hanya merupakan tanggungjawab perempuan, pandangan Islam tentang vasektomi, pandangan Feminis tentang vasektomi dan gagasan vasektomi Dedi Mulyadi terkait vasektomi massal: apakah merupakan terobosan atau pelanggaran hak azasi individual?

 

Vasektomi: Pengertian dan Prosedure

Vasektomi merupakan metode sterilisasi permanen untuk laki-laki dengan cara memutus atau mengikat saluran yang membawa sperma dari testis ke kelenjar prostat. Prosedur ini mencegah sperma bercampur dengan cairan ejakulasi atau air mani sehingga tidak ada sperma yang dapat membuahi sel telur. Dengan begitu, kehamilan secara efektif dapat dicegah, namun demikian aktivitas seksual tetap berlangsung seperti biasa. Jenis kontrasepsi ini dapat dilakukan dengan cepat, aman, berisiko rendah, dan memberikan hasil yang sangat efektif. Meskipun termasuk prosedur operasi, vasektomi dapat dilakukan dengan rawat jalan. Vasektomi merupakan KB yang sangat efektif dalam mencegah kehamilan, karena tingkat keberhasilannya mencapai 99%. 

Terkait dengan teknik pelaksanaannya, saat ini terdapat dua metode bedah vasektomi yang paling umum digunakan yaitu teknik sayatan (standar) dan teknik tanpa pisau bedah (Non-Scalpel Vasectomy/NSV). Pada teknik sayatan, dokter membuat satu atau dua sayatan kecil di skrotum menggunakan pisau bedah untuk menjangkau saluran sperma (vas deferens), dan prosedur ini biasanya memerlukan jahitan. Sebaliknya, teknik NSV merupakan metode yang telah dimodifikasi sehingga tidak menggunakan pisau bedah. Pada teknik ini, vas deferens dijepit dengan alat khusus bernama NSV vas holding forceps, lalu kulit ditusuk dengan alat tajam tanpa membuat sayatan. Karena itu teknik ini tidak membutuhkan jahitan, luka lebih kecil, dan waktu penyembuhan lebih cepat. Meskipun demikian, kemungkinan efek samping tetap ada seperti pembengkakan, nyeri ringan atau infeksi, yang dapat mereda dalam beberapa hari.

Sebaliknya, vasektomi dapat memberikan berbagai manfaat yang membuatnya menjadi pilihan kontrasepsi yang unggul. Beberapa keuntungan di antaranya adalah tidak mengganggu gairah seksual, jarang menimbulkan komplikasi, serta prosedurnya sederhana dan dapat dilakukan kapan saja. Selain itu, vasektomi dinilai lebih sehat dan aman dibandingkan dengan jenis kontrasepsi lainnya. Namun, seperti prosedur medis lainnya, vasektomi tetap memiliki risiko komplikasi. Komplikasi yang mungkin terjadi setelah vasektomi antara lain pembentukan hematoma (penggumpalan darah), infeksi, kegagalan sterilisasi, terbentuknya granuloma sperma, serta nyeri jangka pendek seperti nyeri pada skrotum, nyeri saat ejakulasi, atau nyeri pada titik-titik tertentu. Dalam jangka panjang, terdapat kemungkinan risiko seperti penyakit kardiovaskular, kanker testis atau prostat, penurunan fungsi seksual, pembentukan antibodi terhadap sperma (antibodi antisperma), serta kemungkinan munculnya penyesalan, mengingat vasektomi adalah metode kontrasepsi permanen.

 

Apakah Pengendalian Penduduk Hanya Menjadi Tanggung Jawab Perempuan?

Ada banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan lonjakan penduduk antara lain melalui Keluarga Berencana (KB), namun pada umumnya menyasar tubuh perempuan seperti pil KB, suntik KB, implan, IUD (alat kontrasepsi dalam rahim,) kondom khusus perempuan, diafragma, dan tubektomi (memotong/mengikat). Berdasarkan data BKKBN tahun 2025, jumlah pengguna vasektomi di Indonesia tercatat sebanyak 76.059 jiwa, sedangkan pengguna tubektomi mencapai 643.511 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi laki-laki dalam program keluarga berencana masih jauh lebih rendah dibandingkan perempuan. Di tingkat provinsi, Jawa Barat mencatat jumlah pengguna vasektomi sebanyak 8.780 jiwa, sedangkan pengguna tubektomi di provinsi ini mencapai 89.787 jiwa atau dengan kata lain akseptor KB vasektomi hanya mencapai kurang dari 10% dibandingkan KB permanen yang dilakukan perempuan. Sementara itu, Jawa Timur menjadi daerah dengan jumlah pengguna kontrasepsi permanen terbanyak di Indonesia, dengan 17.080 jiwa pengguna vasektomi dan 117.359 jiwa pengguna tubektomi. Data ini menunjukkan bahwa meskipun metode vasektomi tersedia dan aman, masyarakat masih lebih banyak memilih tubektomi sebagai bentuk kontrasepsi permanen.

Data tersebut menunjukkan keikutsertaan laki-laki di Indonesia dalam penggunaan alat kontrasepsi vasektomi  masih tergolong rendah. Ada beberapa penyebabnya antara lain keterbatasan pengetahuan laki-laki tentang vasektomi dan kesehatan reproduksi, sikap pasangan dan  keluarga yang kurang mendukung, praktik yang belum sesuai, serta kebutuhan dan preferensi pribadi yang belum terpenuhi. Selain itu, faktor lingkungan juga berperan, seperti pelayanan kontrasepsi untuk laki-laki yang masih terbatas, kentalnya budaya patriarkhi yang menempatkan kontrasepsi sebagai identik dengan perempuan, sehingga laki-laki merasa kurang nyaman untuk terlibat langsung dalam kontrasepsi (BKKBN, 2020). Selain itu, masih banyak laki-laki yang merasa takut menjalani prosedur vasektomi karena dianggap sebagai tindakan pembedahan dan dikhawatirkan dapat mengurangi kejantanannya. Perasaan malu untuk datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, atau puskesmas, juga menjadi faktor penghambat secara budaya.

Budaya patriarki yang masih kuat khususnya di masyarakat Indonesia menyebabkan pandangan bahwa tanggung jawab penggunaan alat kontrasepsi dan partisipasi dalam program Keluarga Berencana (KB) sepenuhnya berada di tangan perempuan. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa perempuan yang mengalami kehamilan, maka merekalah yang harus mencegahnya. Pandangan ini memperkuat stereotip bahwa perempuan adalah pihak utama dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, sementara peran laki-laki sering kali diabaikan atau dianggap tidak penting dalam upaya pengendalian populasi. Rendahnya keterlibatan laki-laki dalam kontrasepsi, khususnya vasektomi, menunjukkam bahwa belum terimplemantasikannya Undang-Undang No. 52 Tahun 2009, khususnya Pasal 25 ayat (1), yang menyatakan bahwa suami dan istri memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan program KB. Dengan kata lain, kesetaraan gender belum terealisasi dalam penggunaan alat kontrasepsi.

 

Pandangan Islam terkait vasektomi dan tubektomi

Umat Islam berbeda pendapat terkait hukum vasektomi. Kalangan konservatif menyatakan bahwa vasektomi dinyatakan haram karena dianggap sebagai tindakan pemandulan permanen serta tidak terdapat bukti kuat bahwa prosedur ini dapat dikembalikan seperti semula. Selain itu, vasektomi juga dipandang sebagai bentuk mendahului takdir Allah. Bila merujuk pada praktik di masa Rasulullah SAW, maka metode pencegahan kehamilan yang dikenal saat itu hanyalah dengan istilah ‘azl (coitus interruptus) yaitu tindakan seorang suami mengeluarkan sperma di luar vagina istri dengan tujuan mencegah terjadinya kehamilan. Sementara itu pendapat lain membolehkan dengan beragam syarat, antara lain kondisi darurat seperti karena alasan kesehatan dan bersifat sementara sehingga tidak mengakibatkan kemandulan permanen.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1979 mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa vasektomi dan tubektomi hukumnya haram, karena berpandangan bahwa keduanya merupakan program KB dalam bentuk pemandulan permanen dan itu bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan regenerasi manusia. Namun, pada Juli 2012, MUI menetapkan fatwa baru bahwa vasektomi diperbolehkan jika tidak untuk tujuan sterilisasi permanen. Di kalangan medis dikenal dengan vasectomy reversal. Selain itu, dilakukan atas dasar kebutuhan medis dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

 

Pandangan Feminis tentang Vasektomi

Pada umumnya kalangan Feminis mendukung vasektomi karena beragam alasan (a) Vasektomi memberi ruang adanya pembagian peran dan tanggung jawab yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam konteks menghambat laju pertumbuhan penduduk. (b) Vasektomi meringankan beban perempuan, terutama bagi perempuan yang berisiko dari berKB. (c) Vasektomi merupakan KB yang dianggap lebih efektif dan aman dibandingkan KB lainnya. Namun faktanya banyak laki-laki yang enggan memilih vasektomi sebagai cara mengurangi ledakan penduduk.  

Bagi Feminis, laki-laki sama seperti perempuan harus memiliki kontrol terhadap tubuhnya, karena itu pilihan untuk vasektomi juga harus didasarkan pada kerelaan laki-laki. Berkaca dari negara lain, banyak negara di Barat yang berhasil mendorong laki-laki untuk memilih vasektomi sebagai media untuk meminimalisir ledakan penduduk. Vasektomi sebagai pilihan rasional individual laki-laki telah berhasil di Barat. Hal ini ditunjukkkan dengan tingginya jumlah laki-laki yang memilih vasektomi dengan sukarela. Data menunjukkan di salah satu negara maju terdapat kenaikan cukup signifikan pada pengguna vasektomi dari 1,940 di tahun 2010 menjadi 30,288 di tahun 2022 ( Herzberg, 2024). Hal yang sama juga sangat mungkin terjadi pada laki-laki Indonesia dari berbagai kelas sosial berbeda untuk berkontribusi secara langsung dalam mengendalikan lonjakan penduduk. 

 

Gagasan Vasektomi Dedi Mulyadi: Terobosan atau Pelanggaran Hak Azasi Individual

Gagasan Dede Mulyad terkait kebijakan tentang vasektomi massal telah menggegerkan publik. Banyak masyarakat yang mendukung gagasannya sebagai terobosan untuk pemecahan problem ledakan penduduk jangka panjang, yang akan membawa efek domino seperti mengatasi pengangguran, mengurangi kemiskinan, meringankan beban negara dalam meningkatkan kesejahteran rakyatnya dan lain-lain. Namun, usulan ini mendapat perlawanan dari sebagian masyarakat lainnya karena adanya gagasan vasektomi yang merupakan prosedur permanen untuk menghentikan kemampuan laki-laki memiliki anak, dianggap sebagai bentuk intervensi negara secara berlebihan terhadap hak atas tubuh dan reproduksi laki-laki. Kalangan aktivis dan feminis Indonesia mengkhawatirkan bahwa kebijakan tersebut hanya akan diberlakukan pada kalangan laki-laki yang tergolong masyarakat retan, khusunya masyarakat miskin, pinggiran atau daerah tertinggal.

Kebijakan vasektomi yang hanya menyasar pada masyarakat miskin menjadi bias karena mengabaikan fakta adanya pembiaran  terhadap masyarakat kelas menengah yang memilih punya banyak anak. Kalangan aktivis gender mempertanyakan apakah kebijakan ini merupakan upaya tersembunyi untuk menekan masyarakat miskin. Merujuk pada gagasan KDM yang mengusulkan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos). Usulan KDM ini menjadi kontrovesial dan menimbulkan pro dan kotra karena bagi kalangan yang kontra vasektomi sebagai syarat bantuan sosial pemerintah dianggap dapat melanggar hak privasi karena merupakan “pemaksaan terselubung”. 

Sementara itu dari perspektif Feminis, adanya kerelaan dari laki-laki untuk memilih KB vasektomi itu penting karena laki-laki sama seperti perempuan memiliki hak atas kedaulatan tubuhnya, sehingga pilihan vasektomi harus merupakan hasil dari keputusan sadar laki-laki atas tubuh mereka sendiri. Pada kasus vasektomi massal di Jawa Barat akan menjadi persoalan bila negara memaksa vasektomi pada laki-laki miskin untuk kepentingan mengurangi jumlah penduduk, sementara membiarkan laki-laki kaya memproduksi banyak anak. Dengan begitu, kebijakan vasektomi bisa menjadi kebijakan diskriminatif yang merugikan kelompok tertentu. Akhirnya, solusi yang dibutuhkan adalah adiperlukan adanya sosialisasi dan edukasi yang cukup memadai sehingga laki-laki dengan sadar mau memilih vasektomi sebagai kontribusi utuk meminimalisir ledakan penduduk.

 

Penutup  

Wacana vasektomi sudah digulirkan oleh Gubernur Jawa Barat yang concern dengan lonjakan penduduk di wilayahnya, namun masih dibutuhkan disksusi dan riset yang lebih dalam agar bila kebijakan vasektomi massal digulirkan nantinya dapat menjadi solusi, bukan sebaliknya menjadi alat negara dalam melakukan tekanan sosial ekonomi bagi laki-laki miskin. Selain itu, alih-alih membuat kebijakan yang «memaksakan», akan lebih baik bila pemerintah melakukan sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya vasektomi bagi laki-laki sehingga menumbuhkan kesadaran laki-laki untuk berkontribusi dalam pengendalian penduduk.

 

Referensi:

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). (2025). Jumlah Kampung KB Berdasarkan Jumlah peserta KB per Mix Kontrasepsi.

https://kampungkb.bkkbn.go.id/statistik/22/jumlah-peserta-kb-per-mix-kontrasepsi Diakses pada tanggal 4 Juni 2024.

Djawas, M., Misran, M., & Ujong, C. P. (2020). ‘Azl Sebagai Pencegah Kehamilan (Studi Perbandingan Antara Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i). El-USRAH: Jurnal Hukum Keluarga, 2(2), 234. https://doi.org/10.22373/ujhk.v2i2.7657

Kahfilani, Z. A., Umar, M., Ghazali, A., & Muntazhar, D. (2024). Penggunaan Kontrasepsi Vasektomi : Kesehatan , Agama , dan Keharmonisan Rumah Tangga. 1(2).

  1. Nur, Y., Sari, Y. K., & Harwita, D. (2023). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Kontrasepsi Laki-laki terhadap Motivasi Laki-laki PUS menjadi Akseptor KB Vasektomi. Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi, 12(1), 30. https://doi.org/10.36565/jab.v12i1.578

Yang, F., Li, J., Dong, L., Tan, K., Huang, X., Zhang, P., Liu, X., Chang, D., & Yu, X. (2020). Review of vasectomy complications and safety concerns. World Journal of Men’s Health, 38(39), 406–418. https://doi.org/10.5534/WJMH.200073

Hooks, Bell. (2004). The Will to Change: Men, Masculinity, and Love.  Lorber, Judith. (1994). Paradoxes of Gender.

Firestone, Shulamith. (1970). The Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution.

Grewal, Inderpal & Caren Kaplan (2001). An Introduction to Women’s Studies: Gender in a Transnational World.

Lisa Campo-Engelstein. (2012). “Raging hormones, domestic incompetence, and contraceptive indifference: narratives about white men and masculinity in contraceptive advertising.” Culture, Health & Sexuality, 14(4), 429-443.