Gaza di Tangan Greta
Gaza di Tangan Greta

Penulis : Robi Sugara (Dosen Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta)

Suara Greta menggema melalui pidatonya di berbagai forum internasional.

Saya percaya, penderitaan rakyat Palestina di Gaza akibat kekejaman Benjamin Netanyahu akan berakhir—bukan lewat meja-meja diplomasi yang penuh basa-basi, atau perdebatan klasik tak berujung para agamawan tentang surga dan neraka—melainkan melalui sosok pemberani Greta Thunberg.

Sosok Greta Thunberg

Greta Thunberg lahir di Stockholm, Swedia, pada 3 Januari 2003. Ia dikenal sebagai seorang aktivis lingkungan dan penggagas gerakan Fridays for Future, yakni aksi mogok sekolah setiap hari Jumat sebagai bentuk protes terhadap kurangnya tindakan negara-negara dalam mengurangi emisi yang memicu krisis iklim global (climate change). Aksinya kemudian menginspirasi jutaan pelajar dan masyarakat di berbagai belahan dunia untuk melakukan aksi serupa.

Saat memulai gerakan tersebut, Greta masih berusia 15 tahun dan berstatus sebagai pelajar. Pada 20 Agustus 2018, ia seorang diri berdiri di depan parlemen Swedia sambil membawa poster bertuliskan “School Strike for Climate”. Aksi sederhana itu kemudian menjadi awal dari lahirnya gerakan global Fridays for Future.

Suara Greta menggema melalui pidatonya di berbagai forum internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan parlemen Eropa. Hingga kini, ia tetap menjadi salah satu sosok paling berpengaruh dalam advokasi iklim global. Pengaruhnya bahkan mendorong kawasan Eropa menempatkan isu perubahan iklim sebagai kepentingan nasional bagi negara-negara Uni Eropa.

Namun Presiden Amerika Donald Trump menyebut dalam majelis PBB 24 September 2025 bahwa gagasan perubahan iklim adalah penipuan terbesar sepanjang masa.

Majalah bergengsi asal Amerika Serikat, Time, memasukkan Greta ke dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh sekaligus menobatkannya sebagai Person of the Year pada 2019. Pada saat itu, Presiden Donald Trump mengejek Greta dengan menyebutnya sebagai remaja yang belum mampu mengendalikan amarah, bahkan menyarankan agar ia menonton film klasik bersama teman-temannya.

Namun, Greta menanggapi sindiran tersebut dengan tenang dan justru menjadikannya sebagai bagian dari kritik balik terhadap sikap para pemimpin dunia yang abai terhadap krisis iklim.

 

Sosok Greta menunjukkan betapa pentingnya peran individu dalam memengaruhi isu global yang tengah dihadapi umat manusia. Tanpa kekuatan besar atau dukungan kuat di belakangnya, ia seorang diri mampu mengguncang dunia dengan suaranya.

Greta pernah mengungkap bahwa dirinya memiliki Asperger Syndrome, gangguan obsesif-kompulsif (OCD), serta pernah mengalami selective mutism di masa kecil. Namun, alih-alih melihat kondisi tersebut sebagai hambatan, ia justru menyebut Asperger sebagai “superpower”-nya. Hal itu membuat Greta mampu berpikir lebih fokus, logis, dan konsisten dalam menyuarakan krisis iklim, sekaligus memperkuat perannya sebagai salah satu aktivis lingkungan paling berpengaruh di dunia.

Misi Kemanusiaan Greta ke Gaza

Greta pertama kali mengikuti misi kemanusiaan ke Gaza pada Juni 2025 bersama lembaga masyarakat sipil internasional Freedom Flotilla Coalition (FFC) dengan menaiki kapal Madleen.

Namun sebelum mencapai Gaza, ia bersama para aktivis dan jurnalis lainnya ditangkap oleh tentara Israel di perairan internasional, lalu dipulangkan ke negaranya. Penangkapan Greta ini turut menarik perhatian publik, bahkan Donald Trump kembali mengomentarinya dengan menyebut Greta sebagai remaja pemarah dan menyarankannya untuk mengikuti kelas manajemen kemarahan.

Greta kemudian melanjutkan misi kemanusiaan keduanya dengan bergabung bersama Global Sumud Flotilla (GSF), sebuah koalisi masyarakat sipil dari sedikitnya 44 negara yang terbentuk pada pertengahan 2025. Misi ini bertujuan memecah blokade laut yang diberlakukan Israel atas Jalur Gaza sekaligus menyalurkan bantuan kemanusiaan.

Armada mulai berangkat pada akhir Agustus hingga awal September 2025, dengan titik keberangkatan antara lain dari Barcelona (Spanyol), Genoa (Italia), Tunisia, dan Yunani. Tercatat lebih dari 50 kapal bergabung dalam konvoi menuju Gaza melalui Laut Mediterania.

Misi ini sempat mengalami beberapa kali penundaan pelayaran akibat cuaca buruk dan kendala teknis. Sejumlah kapal juga menghadapi gangguan, termasuk serangan pesawat tanpa awak (drone) di laut serta ancaman keselamatan saat melintas di perairan lepas pantai Yunani.

Kondisi tersebut tidak hanya memperlambat perjalanan armada, tetapi juga menunjukkan tingginya risiko yang dihadapi para aktivis dalam menembus blokade Gaza. Meski demikian, semangat solidaritas global tetap menjadi dorongan utama bagi para peserta untuk melanjutkan misi kemanusiaan ini hingga ke tujuan akhir.

Gaza Pasca Sidang Majlis Umum PBB Ke-80

Dalam pemungutan suara Majelis Umum PBB pada 12 September 2025 yang melahirkan New York Declaration, mayoritas negara anggota menyatakan dukungan terhadap solusi dua negara sebagai jalan penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Dukungan tersebut datang dari negara-negara di Eropa, Asia, Afrika, serta mayoritas anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang menegaskan pentingnya pendirian negara Palestina merdeka. Salah satu hal yang mengejutkan adalah bergabungnya Inggris dan Prancis dalam barisan negara pendukung solusi dua negara.

Namun, hingga kini belum terlihat adanya upaya lanjutan dari dukungan tersebut. Israel tetap melanjutkan operasi militernya di Gaza yang terus menimbulkan korban jiwa. Bantuan kemanusiaan dari masyarakat sipil internasional pun masih terblokade dan tidak dapat masuk ke Gaza.

Negara-negara dunia tampaknya enggan mengambil langkah lebih jauh, seperti mengirim pasukan perdamaian untuk menekan gencatan senjata atau mengisolasi Israel jika solusi dua negara tidak disepakati. Sementara itu, kelompok-kelompok keagamaan hanya sebatas menyampaikan kecaman tanpa disertai upaya nyata untuk menghentikan pembantaian yang dilakukan pemerintah Israel.

Oleh karena itu, keterlibatan Greta Thunberg dalam misi kemanusiaan ke Gaza menjadi simbol harapan untuk mengakhiri mimpi buruk warga di sana. Ia menegaskan bahwa Asperger Syndrome yang dimilikinya merupakan sebuah “superpower” yang membuatnya mampu berpikir lebih fokus, logis, dan konsisten. 

Kini gangguan yang sekaligus keberkahan buat Greta ini bisa digunakan untuk melihat masalah di Gaza. Dalam perjalanannya menuju Gaza, ia bahkan menyatakan, “Saya tidak takut kepada Israel, yang saya takutkan adalah dunia yang tampaknya sedang kehilangan rasa kemanusiaan.”

Tulisan telah di publish pada berita online Liputan 6 pada tanggal 01 Oktober 2025  link : https://www.liputan6.com/opini/read/6173351/gaza-di-tangan-greta