Modifikasi Kurikulum Berbasis Digital: Mengakomdasi Gen Z Di Bawah Kekuasaan Algoritma Untuk Membaca Technofeudalism
Modifikasi Kurikulum Berbasis Digital: Mengakomdasi Gen Z Di Bawah Kekuasaan Algoritma Untuk Membaca Technofeudalism

Berita FISIP. Jumat 21 November 2025 - Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan Bincang Alumni Ilmu Politik Series ke-12 pada 21 November 2025 dalam format daring. Kegiatan ini mengangkat tema “Modifikasi Kurikulum Berbasis Digital: Mengakomodasi Gen Z di Bawah Kekuasaan Algoritma untuk Membaca Technofeudalism”, sebuah topik yang relevan dengan perkembangan terbaru dalam studi politik, teknologi, dan transformasi pendidikan tinggi.

Acara menghadirkan narasumber Moch. Ilham Afdol—Peneliti LP3ES, Pimpinan Redaksi Scholarium LP3ES, serta alumni Prodi Ilmu Politik UIN Jakarta—dan dipandu oleh Febi Indah Sandraeni, mahasiswa Ilmu Politik, sebagai moderator. Narasumber memaparkan hubungan antara perkembangan teknologi digital dengan kebutuhan rekonstruksi kurikulum ilmu politik, terutama dalam konteks generasi mahasiswa saat ini yang tumbuh di bawah ekosistem algoritma.

Pengetahuan, Kekuasaan, dan Pembentukan Subjek dari Kolonialisme ke Era Digital

Dalam bagian awal paparannya, Ilham merefleksikan peran pengetahuan sebagai instrumen kekuasaan sejak era kolonial. Ia menunjukkan bagaimana dokumentasi, laporan administratif, dan tulisan etnografis pada masa kolonial tidak hanya berfungsi sebagai catatan ilmiah, tetapi juga sebagai mekanisme penciptaan citra yang menormalkan dominasi penjajah. Representasi seperti “pribumi malas” atau “tidak mampu mengatur diri” merupakan konstruksi pengetahuan yang disusun untuk memperkuat relasi kuasa.

Ilham kemudian menarik paralel dengan era digital saat ini, di mana platform teknologi memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan melalui algoritma. Jika dahulu pengetahuan dibentuk oleh kepentingan kolonial, kini ia dibentuk oleh logika komersial platform digital yang menentukan apa yang dilihat dan dipahami publik. Mekanisme ini menurut Ilham telah melampaui fungsi media tradisional: algoritma tidak hanya memfilter informasi, tetapi juga membentuk preferensi, orientasi nilai, dan bahkan identitas generasi.

Technofeudalism sebagai Struktur Kekuasaan Baru

Konsep technofeudalism menjadi kerangka utama analisis diskusi. Ilham menjelaskan bahwa dominasi ekonomi-politik tidak lagi bertumpu pada industri manufaktur atau kapital finansial, melainkan pada aktor-aktor platform yang memonopoli data dan atensi publik. Dalam struktur ini, pengguna bukan sekadar konsumen, tetapi menjadi pemasok data yang terus-menerus dipantau dan dieksploitasi.

Dinamika tersebut memiliki implikasi signifikan bagi pembentukan wacana publik mengenai generasi muda. Misalnya, munculnya stereotip “kaum rebahan” yang disematkan kepada Gen Z bukan sepenuhnya berasal dari kondisi empirik, tetapi merupakan hasil kurasi algoritmik yang menonjolkan konten tertentu demi meningkatkan waktu tonton dan keuntungan platform. Tekanan struktural seperti ketidakstabilan pekerjaan, beban ekonomi, dan tuntutan produktivitas digital justru tersamarkan, sehingga narasi yang beredar lebih mencerminkan bias algoritma daripada realitas sosial.

Kebutuhan Modifikasi Kurikulum Ilmu Politik Berbasis Digital

Menghadapi perubahan tersebut, Ilham menegaskan urgensi memodifikasi kurikulum ilmu politik agar selaras dengan struktur kekuasaan digital. Ia menekankan bahwa tantangan era technofeudalism tidak dapat dijawab melalui pendekatan kurikulum konvensional. Model pembelajaran perlu mengintegrasikan:

  1. Literasi algoritma dan data, untuk memahami bagaimana informasi diproduksi dan dimediasi.
  2. Ekonomi politik platform, guna membaca relasi kuasa baru dalam ekosistem digital.
  3. Analisis politik berbasis teknologi, termasuk dampak platform terhadap demokrasi, opini publik, dan partisipasi politik.
  4. Etika digital dan kesadaran kritis, agar mahasiswa tidak tersubordinasi dalam narasi otomatis yang dibentuk mesin.
  5. Pendekatan multidisiplin, terutama dengan komunikasi, sosiologi digital, dan ekonomi politik.

Menurut Ilham, kurikulum ilmu politik harus mampu membekali mahasiswa dengan perangkat analitis untuk memahami bagaimana kekuasaan bekerja dalam lanskap digital, sekaligus membangun kapasitas reflektif agar Gen Z mampu mendefinisikan dirinya di luar konstruksi algoritmik.

Diskusi Kritis dan Relevansi Akademik

Dalam sesi diskusi, peserta menyoroti bagaimana konstruksi identitas Gen Z di ruang digital sering kali berfungsi sebagai mekanisme ideologis yang menutupi persoalan struktural. Narasumber menegaskan bahwa analisis kritis terhadap algoritma dan produksi narasi digital perlu menjadi bagian integral dari pendidikan politik modern. Hal ini penting agar mahasiswa dapat membaca fenomena sosial secara lebih komprehensif dan menghindari reduksi yang disebabkan oleh bias teknologi.

Ilham menyampaikan bahwa memahami bagaimana narasi digital terbentuk merupakan langkah penting bagi generasi muda untuk menentukan posisi dirinya di tengah tekanan algoritma dan kompetisi ekonomi. Ia mengingatkan bahwa identitas generasi tidak boleh hanya ditentukan oleh citra yang diproduksi platform, tetapi perlu dibangun melalui kesadaran kritis, kolaborasi, serta ruang pengetahuan yang lebih adil. Kegiatan ini diharapkan dapat membuka perspektif baru bagi peserta untuk melihat bahwa label seperti “kaum rebahan” bukan sekadar komentar ringan, tetapi bagian dari konstruksi sosial yang perlu dibaca secara lebih mendalam.  

Kegiatan ini menegaskan bahwa transformasi digital tidak hanya mengubah cara Generasi Z berinteraksi dengan informasi, tetapi juga mengubah struktur kekuasaan yang membentuk persepsi dan identitas mereka. Dalam konteks tersebut, modifikasi kurikulum berbasis digital menjadi kebutuhan mendesak bagi Prodi Ilmu Politik. Diskusi ini memberikan landasan intelektual bagi pengembangan kurikulum yang tidak hanya adaptif terhadap perkembangan teknologi, tetapi juga kritis terhadap implikasi politik dan sosial dari technofeudalism.

Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diharapkan menjadikan temuan dan refleksi diskusi ini sebagai pijakan untuk merumuskan kurikulum yang mampu mempersiapkan mahasiswa menghadapi kompleksitas kekuasaan digital di masa mendatang.