Pertaruhan Indonesia di Meja BRICS: Mengukur Ancaman dan Kesempatan
Penulis : Sandiwan Putra Bintang Anugrah (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)
Dikenal sebagai negara non-blok dan penganut politik 'bebas aktif', selama bertahun-tahun Indonesia terus menghindari untuk bergabung dengan salah satu poros, namun pada 7 Januari 2025 Indonesia resmi bergabung dengan BRICS.
Ini adalah langkah berani yang diambil oleh Indonesia. Representasi poros Barat, Presiden Amerika Serikat yaitu Donald Trump menaikan tarif ekspor 150% ke seluruh anggota BRICS dan tidak akan mendapatkan manfaat dari kehebatan ekonomi Amerika Serikat apabila Indonesia aktif di dalam upaya 'de-dolarisasi'. Representasi poros non-Barat, seperti Pemerintah Brazil sebagai presidensi BRICS tahun 2025 yang mengatakan bahwa negara-negara anggota yakin bahwa Indonesia dapat berkontribusi dalam kemitraan, pembangunan yang lebih komprehensif bagi komunitas 'dunia selatan'.
Dewasa ini, Indonesia dihadapkan upaya mewujudkan ekspetasi dari pihak yang pro dan mencoba memberikan pemahaman kepada pihak yang kontra terkait alasan keputusan luar negeri Indonesia. Sutan Syahrir pernah berkata bahwa "hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan", lantas dalam pertaruhan ini, 'kemenangan' apa yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia?
Apa itu BRICS
BRICS adalah singkatan awal alphabet dari negara-negara anggota pendahulu. Pada 2006, Rusia mengajak Brazil, India, China untuk menginisiasi sebuah organisasi internasional yang dapat menciptakan struktur ekonomi yang lebih adil, setara dan inklusif. Pada 2009, Afrika Selatan ikut bergabung. BRICS memakai metode konsensus dalam mengambil keputusan sehingga dalam pelaksanaannya nanti tidak ada pemaksaan dan tetap menghormati kedaulatan tiap anggota.
Dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, BRICS membangun instrumen seperti New Development Bank dengan anggaran yang diatur dalam Contingent Reserve Arrangement (CRA), BRICS Business Council, Think Tank Council, BRICS Pay, BRICS Women, dan BRICS Science Technology Innovation (STI) Framework Programme.
Agenda De-dolarisasi
Sistem ekonomi saat ini didominasi oleh mata uang dolar Amerika Serikat, sehingga mereka kerap kali memanfaatkan kekuatan ini. International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia adalah institusi yang sering meminjamkan modal ke negara-negara, namun dalam syarat peminjamannya dinilai kurang adil sehingga terjadi ketimpangan pembangunan. Maka dari itu, untuk melakukan perubahan status quo pada sistem diperlukan upaya untuk melemahkan alat yang mendukung sistem tersebut, dalam hal ini adalah dollar AS.
Upaya melemahkan dollar AS sebagai alat pembayaran itu bisa disebut sebagai 'de-dolarisasi'. De-dolarisasi dilakukan ketika aktor melakukan transaksi tanpa menggunakan dollar, baik menggunakan mata uang lain atau metode lain seperti barter. BRICS mengambil upaya melalui penggunaan mata uang lokal yang kemudian diproyeksikan dapat menciptakan mata uang baru. Jadi dapat dikatakan 'kemenangan' dari BRICS itu akan terjadi ketika mereka dapat merealisasikan rencana pembuatan mata uang baru tersebut.
Realitanya, rencana ini baru sebatas agenda dan bahkan belum masuk ke dalam rancangan kebijakan. Mengingat pengambilan keputusan d BRICS yang memakai konsensus, maka ada negara anggota yang masih belum yakin terhadap rencana 'de-dolarisasi' ini. Selain faktor internal seperti lemahnya integrasi ekonomi, fiskal dan politik antarnegara. Faktor eksternal berupa ancaman tarif dari Amerika Serikat juga berperan dalam penundaan rencana pembuatan mata uang.
Generalisasi Ancaman dan Kesempatan
Saya memakai negara sebagai aktor utamanya, pada penjelasannya terlihat bahwa ancaman muncul karena adanya perbenturan kepentingan nasional masing-masing negara dan sekutunya. Blok Barat, khususnya Amerika Serikat merasa terancam bukan hanya karena BRICS, namun agenda yang dibawa oleh organisasi tersebut yaitu menggeser posisi dollar sebagai mata uang dominan, oleh karena itu sebagai bentuk pertahanan, Amerika Serikat menerapkan tarif ekspor yang tinggi untuk negara yang mendukung agenda 'de-dolarisasi'. Ada negara yang menuruti syarat dan ketentuan dari Amerika Serikat supaya tarif ekspor terhadap mereka turun, namun ada negara yang justru melakukan pembalasan kenaikan tarif ke Amerika Serikat seperti China. Tindakan China ini digambarkan sebagai bentuk respon dari negara Non-Barat terhadap sanksi dari Barat yang dianggap tidak adil dan tidak menghormati kedaulatan.
Pada umumnya, dunia ekonomi memiliki 2 arah yang signifikan, mempertahankan status quo sistem pasar sejak pasca perang dunia 2 yang menyebabkan negara berkembang sulit menentukan kebijakan moneter secara mandiri atau reformasi ke sistem baru yang tidak ingin adanya monopoli dari salah satu koalisi.
Indonesia saat ini berada di tengah posisi geopolitik yang saling tarik menarik. Penawaran dari Washington berupa penurunan tarif ekspor dan penawaran dari Beijing berupa pinjaman dana berbasis mata uang lokal. Untuk menjaga kepercayaan kedua investor ini, Indonesia tidak boleh terlalu condong ke salah satunya. Jadi solusi dari perbenturan kepentingan nasional ini adalah menciptakan ruang ketiga yang diciptakan oleh pihak netral. Indonesia dapat bergerak menjadi jembatan perdamaian itu.
Dalam kurun waktu terdekat, akan lebih baik apabila Indonesia tidak menyetujui agenda 'pembuatan mata uang bersama' supaya bisa meredam agresivitas Barat, mengingat pengambilan keputusan di BRICS dilakukan melalui konsensus, sehingga realisasi tujuan baik ini tidak ditiadakan melainkan ditunda. Untuk membersamai anggota BRICS yang lain dalam penguatan ekonomi domestik masing-masing, kita bisa memakai transaksi mata uang lokal.
Masa Depan Indonesia dengan Prinsip Non-blok
Indonesia sebagai non-blok tidak hanya menunjukkan ketertarikan pada BRICS, namun juga terhadap Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Menurut laporan dari OECD pada 3 Juni 2025, Indonesia telah menyerahkan Initial Memorandum sehingga proses aksesi dapat selesai secepatnya pada tahun 2027 nanti.
Di bawah pemerintahan Prabowo, Indonesia berupaya beraliansi dengan BRICS dan OECD, kemudian menjadi perantara kerjasama kedua organisasi ini. Jika berhasil menuntaskan aksesi OECD dalam dua hingga tiga tahun, Indonesia bisa menjadi jembatan antara sistem 'Dunia Utara' dan 'Dunia Selatan' yang dipengaruhi BRICS dan OECD. Dengan kontrol atas jalur vital seperti Selat Malaka, yang dilewati sebagian besar perdagangan dunia, posisi Indonesia menjadi sentral dalam arsitektur ekonomi dan keamanan global yang baru. Dalam situasi geopolitik dunia yang semakin tidak pasti, non-blok bukan sikap pasif melainkan strategi bertahan yang cerdas dan berdaulat. Indonesia tetap dapat 'mendayung di antara dua karang' sehingga potensi menjadi moderator dalam top of mind di kancah internasional dapat terbuka lebih lebar.
