Selama Kita Diam, Krisis Iklim Terus Menggerogoti Keamanan Manusia
Penulis: Salsabiyah, Mahasiswa Hubungan Internasional
Perubahan iklim bukan sekadar istilah yang sering muncul di berita atau media sosial. Ia adalah proses jangka panjang ketika suhu rata-rata bumi meningkat dan pola cuaca berubah secara ekstrim akibat aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change menunjukkan bahwa sejak masa pra industri, suhu global telah naik sekitar 1,1°C. Dampaknya terlihat jelas, musim hujan dan kemarau yang tak menentu, meningkatnya intensitas badai, mencairnya es kutub, serta naiknya permukaan laut. Fenomena ini bukan hanya mengancam ekosistem dan keanekaragaman hayati, tetapi juga fondasi kehidupan manusia yang bergantung pada stabilitas iklim, air, pangan, dan tempat tinggal.
Perubahan iklim, dengan demikian, merupakan ancaman besar bagi keamanan manusia dalam konteks keamanan internasional. Titik berangkat dari keyakinan ini sederhana sekali, keamanan manusia tidak hanya bicara soal melindungi negara, melainkan memastikan manusia bebas dari rasa takut dan bebas dari kekurangan. Pendekatan ini menempatkan keselamatan hidup, kesehatan, akses air, pangan, dan kehidupan yang layak sebagai inti dari keamanan global. Itulah sebabnya ancaman iklim tidak bisa dipandang hanya sebagai isu lingkungan, tetapi isu keamanan paling nyata yang sedang manusia hadapi.
Human Security dan Ancaman Non-Tradisional
Dalam studi hubungan internasional, konsep keamanan telah mengalami pergeseran besar. Dahulu, keamanan dipahami secara tradisional sebagai upaya negara mempertahankan kedaulatan dan melindungi wilayahnya dari ancaman militer. Namun sejak terbitnya Human Development Report dari UNDP pada tahun 1994, muncul paradigma baru yang disebut human security, keamanan manusia. Pendekatan ini menekankan perlindungan terhadap individu, bukan hanya negara. Manusia dianggap aman jika terbebas dari rasa takut (freedom from fear) dan kekurangan (freedom from want).
Konsep ini menandai pergeseran fokus keamanan dari “keamanan negara” menuju “keamanan manusia”. Artinya, keamanan tidak lagi diukur dari seberapa kuat militer atau pertahanan suatu negara, tetapi dari seberapa aman dan layaknya kehidupan warga negara di dalamnya. Kesehatan, pangan, air, pendidikan, dan lingkungan hidup yang stabil menjadi indikator utama dari keamanan manusia. Dengan kata lain, keamanan sejati hanya bisa tercapai jika manusia memiliki jaminan hidup yang bermartabat di tengah berbagai ancaman global.
Perubahan iklim kemudian dipahami sebagai bentuk ancaman non-tradisional karena tidak berwujud militer, namun secara langsung mempengaruhi kualitas hidup manusia. Ia mengancam dari dalam sistem kehidupan itu sendiri, dari udara yang kian panas, sumber air yang menipis, hingga ekosistem yang rusak. Ancaman ini tidak mengenal batas negara, dan tidak dapat ditangani dengan kekuatan senjata. Inilah yang membuat krisis iklim menjadi ujian besar bagi konsep keamanan manusia yaitu bagaimana dunia memastikan keselamatan individu tanpa harus menunggu ancaman itu berubah menjadi konflik atau bencana kemanusiaan yang lebih luas.
Dampak Ekonomi dan Sosial yang Mengancam Keamanan
Perubahan iklim bisa langsung mempengaruhi kemampuan manusia untuk bertahan hidup secara ekonomi. Saat curah hujan berubah, suhu makin ekstrem, dan panen gagal, masyarakat kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan utama. Ketika pendapatan hilang dan kebutuhan dasar tidak terpenuhi, banyak keluarga terdorong untuk meninggalkan rumah mereka.
Perubahan iklim pun menjadi pendorong kuat untuk migrasi, tidak hanya dalam satu negara, tetapi juga melintasi perbatasan. Bangladesh adalah contoh jelas. Ketika ladang rusak akibat banjir dan air laut masuk ke lahan pertanian, masyarakat pesisir terpaksa pindah ke kota yang sudah penuh sesak. Situasi ini menciptakan pemukiman kumuh, persaingan kerja, dan peningkatan kriminalitas yang mengancam keamanan mereka. Kondisi serupa dapat ditemukan di berbagai kawasan lain yang terdampak iklim.
Krisis iklim yang awalnya persoalan keseharian berubah menjadi masalah keamanan domestik. Ketika krisis ini kemudian menyeberang ke wilayah lain melalui arus migrasi besar atau perebutan sumber daya lintas negara, persoalannya naik ke tingkat keamanan internasional. Maka dari itu, perubahan iklim dapat mengganggu stabilitas regional dan memaksa dunia internasional ikut terlibat karena dampaknya yang meluas.
Krisis Iklim di Berbagai Belahan Dunia
Selain Bangladesh, kawasan Sahel di Afrika menjadi contoh nyata bagaimana perubahan iklim bertransformasi menjadi ancaman keamanan. Daerah yang semula subur kini mengalami kekeringan panjang akibat peningkatan suhu global. Petani kehilangan lahan, sementara penggembala kehilangan padang rumput. Akibatnya, terjadi perebutan sumber daya antara kelompok masyarakat yang kemudian memicu konflik horizontal. Raleigh dan Urdal (2007) menyebut kondisi ini sebagai “climate-induced conflict,” di mana kerentanan sosial-ekonomi bertemu dengan tekanan ekologis.
Di Suriah, Menunjukkan bahwa kekeringan panjang sebelum meletusnya perang sipil memperparah krisis sosial dan ekonomi di pedesaan. Ketika panen gagal dan banyak warga desa pindah ke kota, tekanan sosial meningkat, dan ketidakpuasan terhadap pemerintah makin meluas. Meskipun bukan penyebab tunggal, perubahan iklim memperburuk kondisi yang akhirnya berujung pada konflik bersenjata.
Contoh lain datang dari kawasan Arktik. Mencairnya es di wilayah kutub akibat pemanasan global membuka peluang eksploitasi sumber daya alam dan jalur pelayaran baru. Namun hal ini justru memunculkan ketegangan geopolitik antara negara-negara seperti Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat yang berebut klaim wilayah. Situasi ini menunjukkan bahwa krisis iklim juga melahirkan bentuk-bentuk baru ancaman keamanan internasional yang bersifat strategis.
Hilangnya Negara dan Identitas
Bahkan efek lebih besarnya, ancaman iklim dapat menghapus identitas dan eksistensi suatu negara. Naiknya permukaan laut mengancam menenggelamkan wilayah pesisir dan negara kepulauan sepenuhnya, membuat jutaan orang kehilangan rumah sekaligus status kenegaraan mereka. Hilangnya wilayah berarti hilangnya kedaulatan, fungsi pemerintahan, dan pengakuan internasional. Jika sebuah negara tidak lagi memiliki tanah untuk dipertahankan, tidak ada konsep keamanan tradisional yang mampu melindungi rakyatnya.
Contoh nyatanya terlihat di Kiribati yang menghadapi risiko tenggelam seiring kenaikan permukaan laut sekitar 5–11 cm dalam tiga dekade terakhir. Dua pulau kecil, Abanuea dan Tebua Tarawa, sudah tercatat tenggelam. Sebagian besar pulau di Kiribati hanya berada beberapa meter di atas permukaan laut, sehingga kenaikan kecil sekalipun sudah cukup untuk merusak tanah, mencemari air tawar, dan menenggelamkan lahan pemukiman maupun pertanian. Jika daratan terus menyusut, negara tersebut dapat kehilangan ruang hidup bagi penduduknya dan berpotensi kehilangan status kenegaraan dalam sistem internasional.
Situasi serupa juga mengancam negara kepulauan kecil di Pasifik seperti Tuvalu dan Marshall Islands. Isu ini bahkan telah memunculkan perdebatan di hukum internasional tentang bagaimana status negara tanpa wilayah akan diakui ke depannya. Dengan kata lain, krisis iklim bukan hanya mengancam manusia sebagai individu, tetapi juga struktur dan legitimasi politik negara dalam tatanan global.
Upaya dan Tantangan Politik Global
Ancaman iklim yang kompleks ini menuntut respons kolektif dari dunia internasional. Dewan Keamanan PBB (UNSC) untuk pertama kalinya membahas isu perubahan iklim dalam sidangnya tahun 2007, menandai pengakuan bahwa krisis iklim dapat memicu instabilitas dan konflik. Meski demikian, langkah nyata di tingkat global masih terbatas. Kesepakatan Paris 2015 menjadi tonggak penting dalam komitmen dunia menekan emisi karbon, tetapi implementasinya sering tersendat oleh kepentingan politik dan ekonomi negara-negara besar.
Banyak negara masih melihat isu iklim sebagai masalah lingkungan semata, bukan isu keamanan. Padahal, perubahan iklim bisa mengancam ketahanan pangan, memperburuk kemiskinan, dan menciptakan tekanan sosial yang berujung pada ketidakstabilan. Dalam konteks kawasan, ASEAN pun menghadapi tantangan besar dalam membangun mekanisme keamanan lingkungan, sementara Eropa melalui European Green Deal mulai mengaitkan kebijakan energi dan keamanan sebagai satu kesatuan strategi.
Indonesia sendiri tidak terlepas dari ancaman ini. Kenaikan permukaan laut mengancam wilayah pesisir seperti Jakarta, Demak, dan Kalimantan Barat. Selain itu, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga berdampak pada kesehatan, ekonomi, dan diplomasi regional. Maka dari itu, kebijakan adaptasi iklim seharusnya menjadi bagian penting dalam perencanaan keamanan nasional dan regional.
Dimensi Keadilan Iklim
Krisis iklim juga membuka perdebatan besar tentang keadilan global. Negara-negara miskin di selatan dunia paling terdampak oleh bencana iklim, padahal kontribusi mereka terhadap emisi global sangat kecil. Sementara itu, negara-negara industri di utara dunia yang menjadi penyumbang terbesar gas rumah kaca justru memiliki kapasitas adaptasi yang jauh lebih tinggi. Inilah yang disebut climate injustice.
Ketimpangan ini menciptakan bentuk baru dari ketidakadilan global. Negara-negara berkembang menuntut mekanisme kompensasi dalam bentuk dana “loss and damage” untuk membantu mereka mengatasi dampak iklim yang tidak dapat dihindari. Isu ini kembali menguat dalam perundingan COP27 dan COP28, yang menghasilkan komitmen awal pembentukan dana kerugian global. Namun, pelaksanaannya masih lambat dan belum memenuhi ekspektasi negara-negara paling rentan.
Dari perspektif moral dan politik, keadilan iklim menegaskan bahwa menjaga bumi bukan hanya soal tanggung jawab individual, tetapi tanggung jawab historis negara-negara maju. Dalam hal ini, solidaritas global harus diwujudkan dalam kebijakan nyata, baik melalui transfer teknologi bersih, pendanaan adaptasi, maupun pengurangan emisi secara kolektif.
Menjaga Keamanan Dunia dengan Melindungi yang Paling Rentan
Melihat rangkaian ancaman tersebut, jelas bahwa perubahan iklim bukan lagi masalah masa depan, tetapi realitas yang sudah mengganggu keamanan manusia hari ini. Ancaman ini menembus batas negara dan menciptakan instabilitas yang menjalar dari tingkat lokal hingga global. Jika manusia di garis depan krisis iklim tidak lagi memiliki pangan, air, dan tempat tinggal yang layak, maka keamanan internasional pun kehilangan fondasinya. Karena itu, keselamatan dan kesejahteraan manusia harus menjadi pusat kebijakan keamanan dalam menghadapi perubahan iklim.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, pernah menyebut krisis iklim sebagai “a code red for humanity.” Peringatan ini seharusnya menjadi panggilan moral sekaligus politik bagi seluruh masyarakat global. Keamanan dunia hanya dapat terjaga apabila keamanan manusia yang paling rentan juga terlindungi.
Sebagai bagian dari masyarakat global, kita perlu lebih sadar dan peduli pada ancaman ini, karena dampaknya akan kembali ke kehidupan kita sendiri. Setiap langkah kecil dalam menjaga lingkungan, mendukung kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, dan meningkatkan kesadaran sekitar dapat menjadi kontribusi penting dalam melindungi masa depan manusia dari krisis iklim. Karena pada akhirnya, menjaga planet ini berarti menjaga keselamatan kita semua, now and for the generations who will inherit what we leave behind.
